Tradisi Warga Karangasem Bali Gebug Ende: Punya Makna Sakral

16 Oktober 2022 03:00

GenPI.co Bali - Warga Karangasem, Bali sejatinya punya suatu tradisi sakral bernama Gebug Ende yang tak lekang termakan zaman hingga saat ini.

Makna dari kegiatan sarat akan adat dan budaya di kawasan Gumi Lahar ini ternyata sederhana yakni memohon hujan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Adapun tradisi Gebug Ende biasanya dilakoni oleh warga Desa Seraya, Karangasem, Bali.

BACA JUGA:  Training Ground Bali United di Pantai Purnama, Standar FIFA

Menurut tokoh Desa Seraya, Gede Nala Antara, pentas sakral ini biasa digelar setelah Usaba Kaja atau usaba di Pura Puseh Desa Seraya.

Biasanya ritual ini digelar pada Sasih Kapat (bulan keempat dalam penanggalan Bali), tepat saat musim kemarau, supaya hujan segera turun.

BACA JUGA:  Petani Keliki Ubud Gembira Gegara Pompa Air Tenaga Surya

Ritual ini kembali ditampilkan Sabtu (02/07/22) lalu di Lapangan Puputan Margarana Denpasar untuk memeriahkan ajang Jantra Tradisi Bali dan menjadi atraksi menarik para turis.

Demonstrasi Gebug Ende atau "perang" menggunakan rotan yang dilengkapi dengan tameng tersebut dibawakan oleh 10 pasang pemuda dari Sanggar Seni Tridatu, Desa Seraya, diiringi gamelan.

BACA JUGA:  Buntut Tragedi Kanjuruhan, Bali United Kena Sanksi FIFA?

"Di desa kami, ketika pemain Gebug Ende sampai berceceran darah, darahnya dipercaya dapat mendatangkan hujan di saat musim kemarau," ucap Nala Antara, Sabtu (02/07/22).

Kurator Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 itu menyatakan lahirnya Gebug Ende bermula dari perang antara Kerajaan Karangasem untuk menaklukkan Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sekitar abad ke-17.

Ketika itu, pimpinan kerajaan dan mahapatih, disertai prajurit utamanya Soroh Petang Dasa (40 prajurit andalan) akhirnya berhasil menaklukkan Lombok.

Untuk meluapkan rasa suka citanya memenangi perang, Soroh Petang Dasa itu menari-nari dengan tameng dan senjatanya.

"Soroh Petang Dasa ini memang terkenal kekebalannya dan tidak mempan senjata apapun," kata Gede Nala Antara yang juga dosen Universitas Udayana itu.

Setelah pulang ke Bali, tari Gebug Ende itu terus dipakai sebagai bentuk keberhasilan menaklukkan Sasak.

“Seiring waktu, tarian ini dipergunakan sebagai latihan perang-perangan dan dilakukan saat masa senggang, pada musim kemarau. Kemudian, muncullah kepercayaan ketika Gebug Ende ini ditarikan pada saat musim panas untuk memohon hujan," ujarnya.

Ketua Sanggar Seni Tridatu Komang Nisma mengatakan Gebug Ende yang ditampilkan tersebut merupakan Gebug Ende Kreasi.

Nisma menambahkan bahwa untuk prosesi Gebug Ende di Desa Seraya, setiap peserta dalam mencari pasangannya itu secara spontanitas.

Namun, karena yang ditampilkan dalam Jantra Tradisi Bali untuk pementasan, sehingga setiap peserta dengan pasangannya telah disiapkan.

Selain itu juga ditambah dengan penampilan para penari perempuan untuk membawakan prosesi persembahyangan.

Untuk aturan permainan Gebug Ende, kata Nisma, tidak boleh memukul dari bagian pinggang ke bawah, tetapi yang diperbolehkan dari pinggang ke atas.

"Melalui acara ini, kami juga ingin mengenalkan Gebug Ende sebagai permainan sekaligus olahraga tradisional," katanya.

Tak hanya untuk kepentingan memohon hujan, tradisi warga Karangasem, Bali yakni Gebug Ende juga kerap dipertontonkan saat perayaan HUT Kemerdekaan RI. (Ant)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: I Made Dwi Kardiasa

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co BALI