Kutuk Terminal LNG, Walhi Bali & Bendesa Intaran Beri Bukti

28 September 2022 14:00

GenPI.co Bali - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali beserta pemimpin desa atau Bendesa Intaran mengutuk adanya proyek pembangunan Terminal LNG dengan bukti-bukti baru.

Wacana pembangunan tempat suplai energi alternatif itu memang jadi polemik karena bakal menggusur wilayah mangrove.

Tak cukup menyuarakan aspirasi penolakan dengan berbagai cara di Bali, masyarakat adat di kawasan Sanur menggaungkannya aksinya di Jakarta.

BACA JUGA:  Tiket Pesawat Bikin Bali Kehilangan Turis, Ini Keluhan Cok Ace

Bendesa Adat Intaran Sanur I Gusti Agung Alit Kencana bersama Direktur WALHI Bali I Made Krisna Dinata terbang langsung ke Jakarta, Kamis (22/09/22).

Didampingi tim dari Eksekutif Nasional WALHI, mereka menyambangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta.

BACA JUGA:  Galian C Karangasem Makan Korban, Sopir Truk Tewas Mengenaskan

"Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk menyampaikan penolakan terhadap rencana pembangunan Terminal LNG Sidakarya di Denpasar," ucap Made Krisna Dinata, Jumat (23/09/22).

Menurutnya, rencana pembangunan Terminal LNG itu masuk dalam kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan Pesisir Sanur.

BACA JUGA:  Pariwisata Bali Ketar-ketir, Tiket Pesawat ke Thailand Murah

Rombongan diterima langsung Direktur Perencanaan Kawasan Konservasi Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Ahmad Munawir.

Made Krisna Dinata memerinci dasar dari penolakan pembangunan Terminal LNG Sidakarya adalah potensi kerusakan mangrove Tahura Ngurah Rai.

"Mangrove yang akan diubah menjadi Terminal LNG rata-rata memiliki ketinggian mencapai 4-10 meter," ujar Bokis, sapaan akrabnya.

Celakanya, kata dia, Ditjen KSDAE telah mengubah status kawasan tersebut dari semula Blok Perlindungan menjadi Blok Khusus.

"Pada peta Tahura 2015, Ditjen KSDAE menetapkan tapak proyek Terminal LNG masih sebagai kawasan perlindungan," ujarnya.

Namun, penetapan melalui surat keputusan itu dianulir Ditjen KSDAE KLHK pada 2021 menjadi Blok Khusus.

"Seharusnya peruntukan blok pada tapak proyek Terminal LNG Sidakarya dikembalikan menjadi Blok Perlindungan," kata Bokis.

Pihaknya pun mendesak Ditjen KSDAE KLHK tidak melupakan fungsi pengawasan terhadap kawasan konservasi mangrove yang ada di daerah.

"Dengan memperhatikan kondisi di lapangan seharusnya tidak ada perizinan maupun rekomendasi yang diterbitkan oleh KSDAE," tukasnya.

Bokis melanjutkan bahwa di kawasan pesisir laut sekitar mangrove juga terdapat terumbu karang yang tergolong baik dengan skala 50 - 70 persen.

Untuk itu pengerukan alur laut dengan kedalaman 15 meter, lebar alur 145 meter, dan volume 3,3 juta meter kubik berpotensi mengancam lingkungan sekitar.

"Dampak pembangunan Terminal LNG akan mendorong abrasi yang mengancam keberadaan tempat suci di sekitar lokasi proyek," tutur Bokis.

Ia mengatakan pesisir Sanur merupakan ruang penghidupan bagi 400 orang keluarga nelayan tradisional.

"Keberlangsungan Pesisir Sanur sangat penting dijaga dari gempuran proyek pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove," paparnya.

Untuk mempertegas sikap masyarakat, tim pun menyerahkan dokumen penting berisi penolakan dan sejumlah hasil kajian di lapangan.

Terlepas dari aksi Walhi Bali dan Bendesa Intaran, Gubernur I Wayan Koster meyakinkan bahwasannya pembangunan Terminal LNG tak akan mengganggu kawasan hutan bakau. (gie/jpnn)

 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: I Made Dwi Kardiasa

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co BALI