GenPI.co Bali - Makin terdegredasinya kesenian sakral asli Bali membuat Dinas Perhubungan (Dishub) serta Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) turut bergerak mencari solusinya baru-baru ini.
Upaya dua dinas terkait ini tak lepas dari fakta maraknya kesenian di Pulau Dewata yang disalahgunakan, baik itu dijalankan tidak pada tempatnya dan tidak memenuhi kriteria seni.
Bahkan, ada tari rejang yang digunakan untuk mencari rekor MURI, dijadikan untuk penyambutan, dan keluar dari uger-uger (aturan) seni sakral. Jika hal ini dibiarkan dikhawatirkan terjadi degradasi nilai tarian itu.
Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan Bali menggandeng Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) setempat memberikan pemahaman kepada para bandesa adat terkait dengan seni sakral.
"Selain merupakan arahan dari pimpinan, kami juga menerima banyak masukan dari para pakar terkait kondisi ini," kata Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha, Senin (04/07/22).
Setelah memberikan pemahaman kepada bendesa adat, kalau diperlukan, mungkin akan dikeluarkan SE tentang perlindungan seni sakral.
Seni sakral adalah seni yang diciptakan melalui proses sakralitas yang hal itu termaktub dalam Perda No. 4 Tahun 2020.
Untuk tari-tari yang ada pakem akan diperkuat lagi dengan membukukan pakem-pakem kesenian tersebut, agar jangan justru kesenian yang mendominasi dibanding kesenian pokoknya.
Budayawan Prof Dibia mengaku sudah cukup lama mengamati perkembangan kesenian Bali dan merasakan kekhawatiran tersebut.
Menurut Prof Dibia, sekulerisasi terjadi akibat tergeser fokus-fokus kesenian sakral dari semula sebagai persembahan menjadi sajian yang menghibur dan menarik perhatian penonton manusia.
Banyak yang melihat fenomena ini sebagai suatu hal yang biasa, bukti terus berdenyut kreativitas seni budaya dan dianggap sebagai inovasi dari seniman.
Namun, tak sedikit pula yang khawatir bahwa ini jelas-jelas menunjukkan degradasi terhadap nilai-nilai kesucian kesenian yang selama ini dimuliakan.
Ada enam ciri-ciri seni sakral.
Pertama, menggunakan benda dan simbol sakral.
Kedua, melibatkan proses penyucian.
Ketiga dilakukan oleh orang-orang pilihan.
Keempat, dilaksanakan di tempat suci.
Kelima, digelar pada waktu tertentu yang disakralkan.
Keenam, para penari membawakan tema sakral.
Prof Dibia berpendapat bahwa pemahaman masyarakat tentang mana yang dimaksud dengan tari sakral perlu terus digencarkan, termasuk para pelaku seni juga mengetahui tatanan jika akan membawakan tari sakral.
Ia mengakui diperlukan pemahaman ulang terkait dengan hal ini. Ia menyatakan setuju pemahaman ini diberikan terlebih dahulu kepada bandesa adat.
Lewat kehadiran Dishub dan Dinas PMA pun diharapkan bisa menghindari menurunnya fungsi nilai-nilai penting kesenian Bali yang mulai marak terjadi saat ini. (Ant)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News