Profesor UNUD Bali Merespons Usai Kebijakan Keliru PLN Soal PLTS

07 Juni 2022 04:00

GenPI.co Bali - Kekeliruan kebijakan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang batasi kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap mengundang respons tak terduga dari seorang profesor di Universitas Udayana (UNUD) Bali baru-baru ini.

Diketahui, pemabangkit listrik sarat akan energi alternatif terbilang mampu memenuhi kebutuhan listrik seluruh wilayah Pulau Seribu Pura.

Kebutuhan listrik di Bali kurang lebih 1 Gigawatt (GW), yang dipasok dari beberapa pembangkit listrik di Pulau Bali dan Pulau Jawa.

BACA JUGA:  Pengurus LPD Sangeh Bali Korupsi Rp130 M, Modus Super Jahat

Sementara potensi PLTS atap di Bali mencapai 3.200 Megawatt peak (MWp)—10.900 MWp atau sekitar 3,2 Gigawatt—10,9 Gigawatt.

Data itu diperoleh dari kajian IESR, yang merupakan lembaga think tank untuk isu energi dan lingkungan, termasuk di antaranya energi bersih.

BACA JUGA:  Ini Identitas Mayat Cewek Membusuk di Sungai Ayung Badung Bali

“Kalau semua rumah di Bali pakai PLTS atap, maka itu sudah bisa memasok kebutuhan se-Bali,” kata Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, Minggu (05/06/22).

Namun, kebijakan PLN membatasi pemanfaatan PLTS atap sampai 15 persen dari kapasitas terpasang dianggap keliru karena menghambat upaya transisi ke energi bersih.

BACA JUGA:  Terjun Bebas dari Pura Selonding Badung Bali, Pria Ini Tewas

Guru Besar Teknik Elektro UNUD Prof Ida Ayu Dwi Giriantari mengatakan bahwa kebijakan PLN itu tidak sejalan dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap dan aturan pendahulunya Permen ESDM No. 49 Tahun 2018.

Kebijakan itu juga tidak sejalan dengan regulasi di tingkat daerah khususnya Provinsi Bali, yaitu Peraturan Gubernur No. 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih, dan Surat Edaran Gubernur Bali No. 5 Tahun 2022.

Profesor Ida Ayu Dwi Giriantari mengusulkan kepada PLN agar kebijakan pembatasan itu tidak mengacu pada kapasitas terpasang, melainkan pada kapasitas trafo agar tidak membebani pelanggan dan industri yang ingin beralih ke energi bersih.

“Kebijakan membatasi 15 persen (kapasitas PLTS atap kepada) pelanggan itu salah. Jadi, seharusnya 15 persen dari kapasitas trafo itu masih bisa diterima,” kata Profesor Ida Ayu Dwi Giriantari.

Profesor Ida Ayu Dwi Giriantari menilai kebijakan PLN itu dapat dipahami karena pendapatan perusahaan berpotensi turun jika ada peningkatan pemasangan PLTS atap oleh masyarakat dan industri.

Namun, penggunaan PLTS atap merupakan salah satu program yang didukung pemerintah demi mempercepat transisi energi dan meningkatkan pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk dari sinar matahari/tenaga surya.

“(Polemik) itu seharusnya dicarikan jalan keluar oleh yang memegang kebijakan (pemerintah, Red). Jika itu risikonya, harus ada mitigasi,” bebernya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga menyampaikan pendapat yang sama.

Fabby Tumiwa menilai kebijakan pembatasan itu justru membuat pemasangan PLTS atap jadi mahal sehingga tujuan masyarakat yang ingin berhemat dengan beralih ke energi surya tidak terpenuhi.

“Ini jadi kendala. Jelas, aturan (PLN) ini membuat PLTS jadi tidak ekonomis,” paparnya.

Terlepas dari respons profesor UNUD Bali, pengembangan PLTS oleh PLN diharapkan bisa mengembangkan potensi energi alternatif guna memenuhi kebutuhan listrik segenap masyarakat. (Ant)

 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: I Made Dwi Kardiasa

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co BALI