Ganja Medis Jadi Obat? Guru Besar Farmasi: Bukan Pilihan Utama

02 Juli 2022 20:00

GenPI.co Bali - Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada serta Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D. merespons adanya potensi ganja medis jadi obat suatu penyakit.

Menurutnya, salah satu jenis narkoba itu memang bisa jadi obat apabila pengobatan sebelumnya tak berjalan baik.

Intinya, ganja medis bukanlah pilihan utama bagi kalangan pasien yang dalam proses penyembuhan diri.

BACA JUGA:  Polemik Terminal LNG di Sanur, Pakar Lingkungan Sebut Bali Ini

"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan," kata Zullies kepada ANTARA, Jumat.

"Tetapi, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat," imbuh dia.

BACA JUGA:  Lalasa Villas Badung Bali Meledak, Nasib Sekuriti Memperihatinkan

Ia mengatakan, tentu saja masih ada obat lain yang dapat digunakan, tidak hanya ganja medis.

Zullies menegaskan, posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat-obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik.

BACA JUGA:  BNPT Kumpulkan 200 Tokoh Agama Jelang G20 di Bali, Ada Apa?

"Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi," ujar Zullies.

Sebagai informasi, ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang, yang merupakan salah satu efek dari pengobatan untuk cerebral palsy yang tengah ramai diperbincangkan belakangan ini.

Saat disinggung dari sisi regulasi, Zullies berpendapat hal tersebut bisa mengacu pada senyawa morfin, misalnya, yang juga berasal dari tanaman candu/opiat.

"Morfin adalah obat yang legal, dapat diresepkan untuk indikasi penyakit tertentu yang memang tidak bisa diatasi dengan obat lain, seperti nyeri kanker. Tentu dengan pengawasan dan distribusi yang ketat," kata Zullies.

Jadi, lanjut dia, sama dengan ganja, hal yang sama juga bisa diperlakukan demikian.

"Perlu diatur kebijakan pemanfaatan obatnya, terutama jika sudah mengikuti kaidah riset, sampai obat didaftarkan di BPOM. Sementara, tanaman ganjanya tetap tidak bisa legal, karena berpotensi disalahgunakan," jelas Zullies.

Menurut dia, ganja medis bukan pemanfaatan ganja untuk alasan terapi, tetapi obat yang berasal dari komponen aktif ganja.

"Ini hal yang berbeda, karena ketika sudah dalam bentuk murni, maka bisa ditetapkan dosisnya, dan bisa dipisahkan dari senyawa yang bersifat psikoaktif (yang menyebabkan ketergantungan)," papar Zullies.

Ia menambahkan salah satu contoh penggunaan ganja medis yang paling memungkinkan ialah cannabidiol.

"Contoh ganja medis adalah cannabidiol. Obat ini sudah dikembangkan dan bahkan sudah disetujui FDA sebagai obat anti kejang," imbuhnya.

Ia menambahkan, selama pengembangan dan pemanfaatan ganja medis ini masih dalam koridor saintifik, didukung bukti klinis, dan sudah mempertimbangkan manfaat dan risiko (risk and benefit), maka alternatif ini baru bisa bermanfaat. (Ant)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: I Made Dwi Kardiasa

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co BALI